STUDI MIKROFASIES DAN DIAGENESIS BATUAN KARBONAT
FORMASI POH, CEKUNGAN LUWUK-BANGGAI,
KECAMATAN PAGIMANA, KABUPATEN LUWUK,
PROVINSI SULAWESI TENGAH
NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Pendidikan Sarjana Program S-1 Pada Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Geologi
Universitas Diponegoro
Disusun Oleh :
WAHYU BUDHI KHORNIAWAN
L2L008057
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
MARET 2013
STUDI MIKROFASIES DAN DIAGENESIS BATUAN KARBONAT
FORMASI POH, CEKUNGAN LUWUK – BANGGAI, KECAMATAN PAGIMANA,
KABUPATEN LUWUK, PROVINSI SULAWESI TENGAH
Wahyu Budhi Khorniawan
Program Studi Teknik Geologi
Universitas Diponegoro
wahyubudhikhorniawan@gmail.com
ABSTRACT
Poh Formation is one of formation which sedimented at Tertiary age in Luwuk – Banggai
basin, Central Sulawesi. This basin is very interesting, because it’s exposed all kind of rock from
Pre Tertiary to recent. Poh Formation litology composed of limestone with insert of carbonic
siltstone. This study aimed to determine microfacies and depositional environment of carbonate
rocks, find out the process that develops and environmental diagenesis of carbonate rocks, to
determine the relative age based on the abundance of foraminifera in the rocks, and the latter
determines the dynamics of microfacies stratigraphy sequence based on petrography and
paleontology data that observed. The methodology used in this research is descriptive and
analytical methods. Descriptive methods performed to test hypotheses, make predictions and get
the benefit of a problem to be solved, while for the method of analysis used is the petrographic
analysis, mikrofacies analysis, analysis of large foraminifera, and analysis sequence stratigraphy.
Analysis mikrofasies done to interpret facies, depositional environment, platform type, process
and environmental diagenesis, where as foraminifera analysis is needed to determine the age of
rocks. Based on the results of the analysis made facies zoning columns are arranged vertically
for easier detection of stacking pattern from a parasequence set. From the observation of thin
section obtained 13 types of carbonate rock classifications Dunham(1962), a modified
Flugel(2010), namely: Large Bioclast Packstone forams, Bioclast Plangtonik Forams Packstone,
Bioclast Plangtonik Forams Packstone with Quartz, Red Algae Bioclast Wackstone, Bioclast
Red Algae Grainstone, Packstone with Dolomitation, Ooid Grainstone, Ooid Packstone,
Bioclast Coral Rudstone, Bioclast Milliolids Grainstone, Bioclast Plangtonik Forams Packstone
with Microspar, Interdeterminate Bioclast Packstone and Bioclast Red Algae Packstone with
Microspar. To thirteen types of rocks are scattered into six facies zoning Wilson (1975), namely
FZ 1 Deep Sea, FZ 3 Toe-Of-Slope Apron (Deep Shelf Margin), FZ 4 slope, FZ 5 Platform-
Margin Reefs, FZ 7 Open Marine, and FZ 8 Platform Interior – Restricted. Depositional
environment of the outcrop rocks is shallow marine shelf with to be rimmed carbonate platforms.
The process of developing such cement diagenesis isopach marking the marine phreatic
environment, which marks the formation of cement circum granular meteoricphreatic
environment, as well as the growth of equant calcite mineral, grain deformation, and neomorfism
which marks the burial. Relative age out crop shows the range of ages P21 to N11 End the
Oligocene-Middle Miocene. The data collected from the analysis of the incision can be used to
identify the sequence boundary of the parasequence set that show agradation and retrogradation
stacking pattern, of a system tracts which estimated as transgressive system tract and highstand
system tract.
Keywords: Poh Formation, microfacies, facies zoning, diagenesis, sequence stratigraphy
2
Pendahuluan
Latar Belakang
dalam
batuan
karbonat
sangatlah
Indonesia merupakan salah satu negara
kepulauan terbesar di dunia dengan luas dua
pertiga wilayahnya merupakan lautan. Studi
mengenai hasil laut terutama dalam bidang
seperti batuan karbonat di
geologi,
Indonesia
kurang. Padahal
Indonesia yang mempunyai iklim tropis
merupakan tempat yang sangat ideal bagi
terumbu yang merupakan
terbentuknya
komponen
batuan
penyusun
utama
karbonat. Dalam perkembanganya batuan
karbonat sangat penting bagi kehidupan
manusia, hal ini dapat dilihat dari peran
batuan
industri
perminyakan yaitu sebagai reservoir atau
batuan penyimpan minyak bumi, dimana
hampir 40% batuan reservoir yang ada di
dunia berasal dari batuan karbonat. Oleh
itu perlu adanya studi khusus
karena
mengenai
karbonat mengenai
proses-proses diagenesis atau mikrofasies
dalam hubunganya dengan pembentukan
porositas batuan.
Sejalan
dari
pemerintah pusat untuk meningkatkan
produksi minyak bumi sebesar 900.000 bph
pada 2013. Pada tahun 2011, pemerintah
melalui Pusat Survei Geologi melakukan
penelitian pada kawasan Indonesia Timur
berupa
di
geologi
Cekungan Luwuk-Banggai, Kecamatan
Pagimana, Kabupaten Banggai dan Banggai
Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah,
studi dan pengambilan data
meliputi
struktur
stratigrafi,
sedimentologi dan
geologi,
untuk
paleontologi
mendapatkan gambaran umum mengenai
sistem minyak bumi di daerah penelitian.
Salah satunya adalah studi mengenai batuan
karbonat Formasi Poh yang ada dalam
Cekungan Luwuk – Banggai. Formasi Poh
yang merupakan salah satu anggota pada
cekungan Luwuk – Banggai mempunyai
litologi
batulanau
karbonatan sangat menarik untuk diteliti
mengenai proses diagenesis, tektonik, dan
naik turunya permukaan air laut pada saat
itu. Masih minimnya informasi mengenai
batugamping
lapangan
program
dengan
survei
dan
dan
Formasi Poh secara detail dalam bidang
geologi juga menjadi latar belakang dalam
melakukan penelitian ini.
Maksud dan Tujuan
proses
diagenesis
Maksud dan tujuan dari penelitian ini
yaitu menentukan mikrofasies
dan
lingkungan pengendapan batuan karbonat,
yang
mengetahui
berkembang serta lingkungan diagenesis
batuan karbonat, mengetahui umur relatif
berdasarkan kelimpahan foraminifera besar
pada batuan, dan yang terakhir mengetahui
dinamika sikuenstratigrafi berdasarkan data
mikrofasies yang teramati.
Pembatasan Masalah
(1962),
Pembatasan masalah pada penelitian
Tugas Akhir kali ini diantaranya adalah
Klasifikasi batuan karbonat didasarkan pada
dengan
klasifikasi Dunham
tambahan modifikasi dari Flugel (2010),
proses dan lingkungan diagenesis dengan
melihat jenis dan morfologi semen serta
porositas yang teramati pada sayatan tipis
tanpa menggunakan blue dye, Umur relatif
batuan hanya ditentukan menggunakan
foraminifera besar melalui analisis sayatan
tipis.
Tinjauan Pustaka
Sulawesi terletak pada pertemuan 3
Lempeng besar yaitu Eurasia Pasifik dan
Indo Australia serta sejumlah lempeng lebih
kecil
seperti Lempeng Filipina yang
menyebabkan kondisi tektoniknya sangat
kompleks. Kumpulan batuan dari busur
kepulauan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari
mikrokontinen
terbawa bersama proses
penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik
lainya.
Menurut Surono, 1994 setidaknya
terjadi empat kali deformasi pada daerah
Banggai dan sekitarnya, yaitu
• Pada jaman Kapur terjadi pemekaran
samudera di bagian barat, kemudian
pada Kapur akhir kerak samudera
bergerak ke barat dan menunjam di
bawah kerak benua Eurasia dan atau
busur gunung api. Sehingga Mandala
3
• Pada
Paleogen
Sulawesi timur mengalami deformasi
yang pertama.
akhir
mandala
(mikrolempeng) Banggai Sula bergerak
ke arah barat berbarengan dengan
aktifnya sesar Sorong-Matano, akibat
pergerakan
tersebut menyebabkan
terjadi deformasi yang kedua.
• Pada akhir Miosen tengah bagian timur
mandala Sulawesi
timur mencuatkan
mikrolempeng benua (mandala) Banggai
Sula. Kedua lempeng tersebut saling
menyebabkan
bertemu
terjadinya deformasi fase ketiga. Sesar
Toili dan Sesar Salodik merupakan hasil
dari kejadia tektonik pada fase ini.
sehingga
• Pada
kala
Plio-Pleistosen
terjadi
deformasi pada seluruh daerah, yang
disebabkan oleh proses pengangkatan,
sehingga menghasilkan deformasi fase
ini
keempat. Deformasi pada
menyebabkan munculnya cekungan –
cekungan kecil yang dangkal dan
terlingkung.
fase
Stratigrafi
Jura
juga
Batuan tertua yang mengalasi wilayah
ini adalah Formasi Meluhu. Formasi
Meluhu (TRJm) tersusun oleh batuan meta-
hemipelagic. Formasi Meluhu
(TRJm)
terdiri dari batusabak, batupasir malih, filit
dan sekis, diduga berumur Trias sampai
Jura. Formasi Nanaka (Jn) diduga menindih
secara tak selaras, berupa batupasir kuarsa
dengan sisipan batubara dan konglomerat,
berumur Jura (Simandjuntak, 1981). Pada
terendapkan Formasi
umur
Nambo (Jnm), yang tersusun atas batuan
napal dan napal yang mengandung fosil
Belemnit. Formasi Salodik (Tems) berupa
sampai
batugamping
Miosen Akhir, menindih
selaras
Formasi Nanaka (Jn). Formasi Nanaka
terdiri dari konglomerat, batupasir dan
serpih. Pada kala Oligosen hingga Miosen
Akhir
terendapkan pula Formasi Poh
(Tomp) berupa napal, batugamping dan
sedikit batupasir, menjemari dengan bagian
atas Formasi Salodik. Kelompok Molasa
(Formasi Bongka dan Formasi Kintom)
berumur Eosen
tak
dari
menindih batuan yang lebih tua secara tak
selaras; berupa klastika kasar, umurnya
diduga Miosen–Pliosen. Formasi Bongka
terdiri
konglomerat,
perselingan
batupasir, lanau, napal dan batugamping.
Formasi Kintom tersusun atas batulempung
kapuran dan batupasir. Batuan tersebut di
atas merupakan batuan yang berasal dari
mandala Banggai Sula.
Pada mandala Sulawesi timur tersusun atas
batuan ultamafik yang paling tua. Batuan
ultramafik (Ku) yang terdiri dari harzburgit,
dunit, piroksenit, serpentinit, gabro, diabas,
basal dan diorit. Umurnya belum diketahui
dengan pasti, diduga Kapur. Setempat juga
dijumpai sekis, amfibolit, filit dan gabro
malih yang diduga merupakan bagian dari
kerak samudera. Formasi Matano (Km)
berupa batugamping dengan sisipan rijang,
dan argilit berumur Kapur (Simanjuntak,
termuda berupa
dkk., 1983). Batuan
Aluvium (Qa) yang terdiri dari : lumpur,
lempung, pasir, kerikil dan kerakal; berupa
endapan sungai, rawa dan pantai. Satuan ini
menindih tak selaras satuan yang lebih tua
dan
dengan
batugamping terumbu, Formasi Terumbu
Koral Kuarter (Ql)
Metodologi Penelitian
menjemari
setempat
tidak
terhadap
Metodologi yang digunakan dalam
penelitian adalah metode deskriptif dan
metode analisis. Metode deskriptif yang
dilakukan adalah untuk membuat gambaran
mengenai situasi atau kejadian. Metode
deskriptif
hanya memberikan
fenomena-fenomena,
gambaran
tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
hipotesis, membuat
serta
mendapatkan manfaat dari suatu masalah
yang ingin dipecahkan, sedangkan untuk
metode analisis yang digunakan adalah
analisis petrografi, analisis mikrofasies,
analisis foraminifera besar, dan analisis
sikuenstratigrafi.
Hasil dan Pembahasan
1. Analisis Mikrofasies
prediksi
Melalui pengamatan sayatan
tipis
yang dilakukan, 22 sampel batuan
4
karbonat ini dapat dibagi kedalam 6 tipe
zonasi fasies
a. FZ 1 Deep Sea
Penciri dari FZ 1 Deep Sea dapat
dilihat dari sayatan tipis dengan kode
sayatan PG 07, PG 11, PG 18, PG 30,
dan PG 32. Pada sayatan tipis dengan
kode PG 07, terlihat foraminifera
planktonik sangat dominan. Pada
umumnya fasies ini terletak pada
perairan yang tidak tembus cahaya
dengan pengaruh energi laut yang
sangat dominan. Penamaan batuan
yang didasarkan pada klasifikasi
Dunham (1962) dengan
tambahan
modifikasi Flugel (2010), menamakan
batuan ini bioclast planktonik foram
wackstone – packstone – grainstone
dan sesuai dengan kondisi SMF
(Standard Microfacies Types) 1 yakni
Spiculite wackestone or packstone,
often with a calcisiltite yang menjadi
penciri FZ 1, serta SMF 3 yakni
Pelagic
and
planktonic
with
wackestone
microfossils yang menjadi penciri FZ
1 dan FZ 3, sehingga diperkirakan
batuan karbonat ini terendapkan pada
zona deep sea .
mudstone
lime
Shelf Margin)
05,
terlihat
Penciri dari FZ 3 Toe-Of-Slope
Apron (Deep Shelf Margin) dapat
dilihat dari sayatan tipis dengan kode
sayatan PG 05, PG 13, PG 19, PG 33,
dan PG 34. Pada sayatan tipis dengan
adanya
kode PG
foraminifera besar yaitu Operculina
foraminifera
adanya
sp
dan
planktonik
begitu
yang
dominan. Penamaan batuan yang
didasarkan pada klasifikasi Dunham
(1962) dengan tambahan modifikasi
Flugel (2010), menamakan batuan ini
bioclast planktonik foram packstone,
bioclast
grainstone,
indeterminate bioclast packstone, dan
bioclast large foram packstone dan
sesuai dengan kondisi SMF (Standard
Microfacies Types) 3 yakni Pelagic
algae
tidak
red
b. FZ 3 Toe-Of-Slope Apron (Deep
lime mudstone and wackestone with
planktonic microfossils yang menjadi
penciri FZ 1 dan FZ 3, serta SMF 4
yakni Microbreccia, bio
– and
lithoclastic packstone or rudstone
yang menjadi penciri FZ 3 dan FZ 4,
sehingga
batuan
diperkirakan
karbonat ini terendapkan pada zona
toe of slope antara FZ 3 dan FZ 4.
c. FZ 4 Slope
sangat
Penciri dari FZ 4 Slope dapat
dilihat dari sayatan tipis dengan kode
sayatan PG 02, PG 20, dan PG 44.
Pada sayatan tipis dengan kode PG
02, terlihat adanya foraminifera besar
yang dominan yaitu Discocyclina sp,
Amphistegina sp, Operculina sp,
Lepidociclyna sp, dan Alveolina sp.
Selain itu masih terdapat foraminifera
planktonik yang
sedikit.
Penamaan batuan yang didasarkan
pada klasifikasi Dunham
(1962)
dengan tambahan modifikasi Flugel
(2010), menamakan
ini
bioclast large foram packstone dan
packstone with dolomitation
dan
sesuai dengan kondisi SMF (Standard
Microfacies
yakni
Types)
Allochthonous bioclastic grainstone,
rudstone,
floatstone,
packstone,
breccia with reef-derived biota yang
menjadi penciri FZ 4, sehingga
ini
diperkirakan batuan karbonat
terendapkan pada zona slope.
d. FZ 5 Platform-Margin Reefs
batuan
5
dan
dominan
Penciri dari FZ 5 Platform-Margin
Reefs dapat dilihat dari sayatan tipis
dengan kode sayatan PG 21, PG 28,
dan PG 43. Pada sayatan tipis dengan
kode PG 21, terlihat adanya red algae
adanya
yang
foraminifera besar. Penamaan batuan
yang didasarkan pada klasifikasi
Dunham (1962) dengan
tambahan
modifikasi Flugel (2010), menamakan
red algae
batuan
grainstone
coral
rudstone dan sesuai dengan kondisi
SMF (Standard Microfacies Types)
11 yakni Coated bioclastic grainstone
ini bioclast
dan
bioclast
5
yang menjadi penciri FZ 5 dan FZ 6,
sehingga
batuan
diperkirakan
karbonat ini terendapkan pada zona
FZ 5 Platform-Margin Reefs.
e. FZ 7 Platform Interior – Normal
Marine (Open marine)
yang
didasarkan
Penciri dari FZ 7 Platform Interior
– Normal Marine (Open marine)
dapat dilihat dari sayatan tipis dengan
kode sayatan PG 41. Pada sayatan
tipis dengan kode PG 41, terlihat
adanya red algae yang dominan dan
adanya large foraminifera. Penamaan
batuan
pada
klasifikasi Dunham (1962) dengan
tambahan modifikasi Flugel (2010),
menamakan batuan ini bioclast red
algae packstone with miceospar dan
sesuai dengan kondisi SMF (Standard
Microfacies
yakni
Types)
floatstones with
Wackestones and
whole
fossils and well-preserved
endo- and epibiota yang menjadi
penciri FZ 2 dan FZ 7, sehingga
ini
diperkirakan batuan karbonat
terendapkan pada zona FZ 7 Platform
Interior – Normal Marine (Open
marine).
8
Penciri dari FZ 8 Platform Interior
– Restricted dapat dilihat dari sayatan
tipis dengan kode sayatan PG 15, PG
23, PG 24, PG 27, dan PG 31. Pada
sayatan tipis dengan kode PG 27,
terlihat adanya ooids yang dominan
dan adanya milliolids, selain itu juga
foraminifera besar yaitu
terdapat
alveolina sp. Adanya milliolids atau
austrolina sp dan ooids merupakan
penciri terbentuk pada daerah yang
tenang.
mempunyai energy yang
Penamaan batuan yang didasarkan
pada klasifikasi Dunham
(1962)
dengan tambahan modifikasi Flugel
ini
(2010), menamakan
bioclast red algae wackstone, ooids
packstone, ooids grainstone dan
bioclast milliolids grainstone dan
sesuai dengan kondisi SMF (Standard
Microfacies Types) 16 yakni Peloid
batuan
f. FZ 8 Platform Interior – Restricted
non-laminated
grainstone and packstone. Subtypes
differentiate
and
laminated rocks yang menjadi penciri
FZ 7 dan FZ 8, sehingga diperkirakan
batuan karbonat ini terendapkan pada
zona FZ 8 Platform
–
Restricted.
Interior
Berdasarkan penentuan mikrofasies
dan zonasi fasies Formasi Salodik ini
memiliki bentuk platform berupa rimmed
carbonate shelves. Hal
ini dicirikan
dengan adanya biota Austrotrilina Sp
sebagai penciri daerah dengan energi
sedang tetapi berfluktuasi, seperti pada
facies zone restricted yang terdapat di
daerah belakang terumbu ataupun sand
shoals,
dari
hantaman fair-weather wave base secara
ini masih
langsung,
terbuka,
terhubung
menyebabkan sirkulasi air pada zona ini
sangat baik dan cocok sebagai tempat
habitat dari Austrotrilina Sp .
terlindung
sehingga
dengan
tetapi
zona
laut
yang
adanya
disebut
Proses diagenesis yang terjadi dari
batuan karbonat Formasi Poh dari awal
Fase
yang
pengendapan
Eogenesis berupa hadirnya mikritisasi
dan semen
isopach yang menandai
lingkungan marine phreatic, setelah itu
terjadi pada batuan yang
pelarutan
sementasi
terlihat
circumgranular
menandai
lingkungan meteoric phreatic, dolomitasi
yang menandai lingkungan mixing zone
equant
serta pertumbuhan mineral
calcite,
dan
deformasi
neomorfisme yang menandai lingkungan
burial. Pada tahap terakhir yaitu fase
telogenesis. Pada fase ini terjadi suatu
pengangkatan yang disebabkan oleh
tumbukan mandala Banggai Sula dengan
yang
Mandala
menyebabkan terbentuk struktur geologi
berupa sesar naik yang menyebabkan
formasi Poh dapat terangkat. Kondisi
pengangkatan ini ditandai oleh adanya
Sulawesi
butiran,
Timur
2. Analisis Diagenesis
6
pelarutan
porositas sekunder berupa vug
sehingga
menghasilkan
air
laut
Dari model diagenesis yang telah
dibuat, proses diagenesis ini berawal
pada saat Oligosen Akhir – Miosen
Tengah dimana terbentuknya formasi
salodik pada Mandala Banggai Sula
yang kemudian diikuti oleh terbentuknya
Formasi Poh pada Mandala Banggai
Sula, lihat pada Lampiran 1. Pada saat
ini diagenesis yang terjadi adalah marine
phreatic. Kemudian terjadi perubahan
lingkungan diagenesis dari marine
phreatic menjadi meteoric phreatic dan
mixing zone yang disebabkan oleh
penuruan muka air laut (sea level drop).
ini
Penurunan muka
menyebabkan pengaruh air dari daratan
atau air tawar lebih dominan sehingga
suplai Mg lebih banyak daripada Ca.
Hasil dari proses penggantian atau
replacement CaCO3 menjadi MgCO3
mengakibatkan terjadinya replacement
kalsit menjadi dolomit,
lihat pada
Gambar 4.24. Kemudian Pada Kala
Miosen Akhir
tumbukan mandala
Banggai – Sula dan Mandala Sulawesi
intensif,
Timur
yang
formasi Salodik dan
menyebabkan
dan
Formasi
merupakan
terjadinya
awal
pengangkatan. Pada saat ini diagenesis
terjadi adalah perubahan dari
yang
marine phreatic – mixing zone menuju
burial, lihat pada Lampiran 1.
terdeformasi
semakin
Poh
Pada saat Miosen Akhir diikuti oleh
tererosinya Mandala Sulawesi
mulai
Timur yang menyebabkan pengendapan
kearah cekungan. Erosi ini kemudian
diikuti oleh proses
transportasi dan
pengendapan sedimen yang merupakan
awal terbentuknya Formasi Bongka yang
menyebabkan
proses
diagenesis menjadi burial. Semakin
intensifnya tumbukan antara Mandala
Banggai – Sula dengan Mandala
Sulawesi Timur pada Kala Pliosen –
Sekarang menyebabkan
terbentuknya
sesar – sesar naik seperti patahan Pasini,
patahan Poh, dan patahan Batui yang
perubahan
menyebabkan formasi Poh kemudian
tersingkap baik di permukaan. Pada saat
ini proses diagenesis yang terjadi adalah
meteoric vadose. Sehingga pembentukan
porositas seperti vug dapat berkembang
dengan baik.
3. Porositas Visual
Porositas merupakan suatu rongga
dalam batuan yang dapat dilalui ataupun
diisi oleh
fluida. Pada pengamatan
sayatan tipis dapat terlihat porositas dari
sampel batuan. Porositas yang
22
berkembang umumnya terbentuk pada
saat proses diagenesis batuan karbonat
seperti vug, fracture, dan intercrystal.
Pada sayatan PG 02, 18, 20, 21, 33, dan
41 mempunyai persentasi porositas vug
berkisar antara 5 – 10%, berdasarkan
klasifikasi Koesoemadinata, 1980 maka
kualitas persentase porositas batuan ini
adalah buruk atau poor. Pada sayatan PG
15, 19, 23, 24, 27, 31, 34, dan 44
mempunyai porositas fracture sebesar 5
klasifikasi
berdasarkan
–
koesoemadinata, 1980 maka kualitas
persentase porositas batuan ini adalah
buruk atau poor. Pada sayatan PG 05,
07, 11, 13, 28, dan 43 mempunyai
porositas vug dan fracture sebesar 5 –
13%
klasifikasi
Koesoemadinata (1980) maka kualitas
persentase porositas batuan ini adalah
buruk – cukup. Sedangkan pada sayatan
PG 12 dan 30 mempunyai jenis porositas
vug dan intercrystal sebesar 8 – 10%,
berdasarkan klasifikasi Koesoemadinata
(1980) maka
persentase
porositas batuan ini adalah buruk atau
poor.
berdasarkan
kualitas
11%,
4. Umur Relatif
Dari hasil zonasi foraminifera besar
yang telah dibuat, umur batuan adalah
antara P21 sampai N11 yaitu Oligosen
Akhir sampai dengan Miosen Tengah
lihat pada Lampiran 2, yaitu berkisar
antara 25 juta tahun yang lalu sampai
lalu.
dengan 15
dengan
Biozonasi
tahun yang
dilakukan
juta
ini
7
5. Sikuenstratigrafi
melimpah
Sp, Operculina
foraminifera besar yang
mengambil
seperti
kemunculanya
Heterostegina
Sp,
Austrotrilina Sp, Amphistegina Sp,
Lepydocylina Sp, dan Cycloclypeus Sp.
Hal ini menunjukkan bahwa biota yang
melimpah pada
jamanya merupakan
kunci atau fosil index dalam penentuan
ini
umur batuan. Hasil biozonasi
diperkuat dengan hasil data biozonasi
foraminifera planktonik dari Pusat
Survey Geologi yang menunjukkan
bahwa batuan karbonatan pada Formasi
Poh dengan mempunyai umur N10 yaitu
pada kisaran Miosen Tengah.
Pada gambar tersebut, dapat kita lihat
bahwa terdapat 3 parasequence yang
dibatasi oleh 2 sequence boundary.
terletak
Parasequence yang pertama
dibagian bottom, tersusun oleh 4 lapisan
batuan, yakni lapisan PG 02, PG 05, PG
07, dan PG 11 yang memperlihatkan
adanya perubahan zonasi fasies selama
proses pengendapan. Diawali oleh
lapisan PG 02 yang terendapkan pada
slope, secara bertahap terjadi perubahan
fasies pada lapisan PG 05 menjadi zona
toe of slope, diikuti oleh lapisan PG 07
dan PG11 yang kemudian terendapkan
pada basin, sebagai penciri naiknya
muka air laut dengan garis pantai menuju
kearah darat yang disebut dengan
track (TST 1).
transgressive system
Batas antara system
tract pertama
dengan system tract kedua dibatasi oleh
adanya kenaikan muka air laut yang
relatif stabil sehingga menyebabkan
garis pantai bergeser kearah darat atau
dikenal dengan istilah agradasi. Agradasi
pembentukan
menjelaskan
bahwa
cekungan
akumulasi
sama dengan
sedimen. Kenaikan muka air laut yang
relatif stabil mengakibatkan paparan
(shelf) dangkal semakin meluas, terjadi
perubahan zonasi fasies yang awalnya
merupakan daerah open marine menjadi
ini dinamakan
restricted. Perubahan
tracts 1 (HST 1)
highstand system
stabil.
Peningkatan
terekam pada system tract kedua yang
disusun oleh lapisan PG 13 terendapkan
pada
toe of slope yang kemudian
mengendapkan PG 15 pada daerah
restricted. Pada bagian atas dari system
tract kedua ini dibatasi bagian atasnya
oleh flooding surface yaitu muka air laut
mengalami kenaikan pada garis pantai
track
sebelumnya. Kemudian system
yang ketiga highstand system tracts 2
(HST 2) yang disusun oleh lapisan PG
18, PG 19, PG 20, PG 21, PG 23, PG 24,
dan PG 27. Lapisan PG 18 terendapkan
pada basin kemudian mengendapkan PG
19 pada daerah toe of slope, PG 20 pada
daerah slope, PG 21 pada daerah
platform margin reef, PG 23 sampai
dengan PG 27 pada daerah restricted.
Pada bagian atas dari system tract ketiga
ini dibatasi bagian atasnya oleh flooding
surface yaitu terjadi peningkatan laju
sedimentasi karena ruang akomodasi
sedimen
laju
sedimentasi ini menyebabkan pergeseran
pantai ke arah darat dan dapat dijadikan
sebagai batas dari parasequence yang
dikenal yaitu sequen boundary 1 (SB1).
Setelah
terjadinya sequen boundary
(SB1) muka air laut kembali turun yang
menyebabkan bagian dari HST 1 dan
HST 2 tersingkap di permukaan. Hal ini
dapat terlihat dari proses diagenesis yang
terbentuknya porositas
terjadi yaitu
sekunder berupa
saat
vug. Pada
terjadinya fase lowstand system track
tidak dapat terekam dikarenakan suplai
sedimen dari darat sangat dominan
daripada pembuatan cekungan atau
akomodasi, dengan stacking pattern
berupa progradasi. Muka air laut kembali
naik setelah parasequence pertama dan
terjadi proses parasequence
mulai
kedua. Parasequence kedua
tersusun
oleh 4 lapisan batuan, yakni lapisan PG
28 dan PG 30 yang memperlihatkan
adanya perubahan zonasi fasies selama
proses pengendapan. Diawali oleh
lapisan PG 28 yang terendapkan pada
platform margin reef, secara bertahap
terjadi perubahan fasies pada lapisan PG
8